Anak yang Lahir karena Zina
Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-laki dan wanita. Anak yang lahir karena perbuatan zina, status keturunannya adalah hanya dari ibunya, bukan dari ayahnya, karena laki-laki yang menggaulinya bukan sebagai suaminya yang sah.
Untuk menentukan laki-laki yang mempunyai hubungan nasab dengannya, dapat dilakukan jika ada seorang laki-laki yang mengakuinya sebagai anak. Tetapi dengan syarat bahwa laki-laki itu tidak mengakuinya lahir dari perbuatan zina dengan ibu si anak. Maka dalam hal ini, anak itu dapat dinasabkan kepadanya, jika syarat-syaratnya terpenuhi.
Namun, jika laki-laki itu berkata dan mengakui bahwa anak itu adalah anaknya dari perbuatan zina, menurut jumhur ulama, anak itu tidak bisa dinasabkan kepadanya. Sebab, nasab atau keturunan adalah sebuah karunia, dan itu tidak bisa diperoleh dari perbuatan tercela. Akan tetapi, balasan yang sesuai untuk perbuatan zina adalah azab.
Sedangkan Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat lain, mereka berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan orang yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan ibu si anak, sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Penetapan itu dimaksudkan agar si anak tidak terlantar, tidak mendapat mudharat, dan tidak terkena aib karena perbuatan yang tidak ia lakukan. Sebab, orang yang tidak berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Perbedaan pendapat itu terjadi karena wanita yang berzina itu, ketika hamil, tidak menjadi istri seseorang atau dalam masa 'iddah. Kalau wanita itu menjadi istri seseorang atau sedang dalam masa 'iddah, anak yang ada dalam kandungannya adalah anak suaminya, karena anak adalah milik orang yang mempunyai ranjang (suami). Oleh karena itu, pengakuan seseorang atas anak itu tidak bisa diterima. Ini merupakan ijma ulama.
Adapun dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, yaitu sabda Nabi saw. "Anak milik orang yang memiliki ranjang (suami) dan wanita pezina mendapatkan sanksi." Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim menakwilkan sebab Nabi saw. bersabda demikian, yakni karena terjadi perdebatan antara wanita pezina dengan pemilik ranjang (suaminya).
Meskipun demikian, kita bisa melihat bahwa pendapat jumhur ulama lebih kuat, karena ada riwayat lain dari 'Amr bin Syu'aib, yaitu Nabi saw. bersabda, "Lelaki mana pun yang berbuat zina dengan seorang wanita merdeka atau budak, maka anak yang lahir adalah anak zina, tidak bisa mewarisi atau diwarisi." (HR Turmudzi)
Dengan demikian anak hasil zina tidak bisa mewarisi dari ayahnya atau dari ibunya yang melakukan zina, dan juga dari kerabatnya, selain itu mereka juga tidak bisa mewarisi dari anak hasil zina tersebut. Syaukani berkata, "Demikian juga halnya dengan anak yang lahir karena perbuatan zina. Ini sudah disepakati. Harta warisnya diberikan untuk ibu dan kerabat ibunya."
Anak Li'an
Anak li’an adalah anak yang dilahirkan dari seorang istri yang sah, dimana suami tersebut tidak mengakuinya sebagai anaknya, karena suami tersebut telah menuduh sang istri telah berzina dengan lelaki lain. Sang suami telah bersumpah bahwa istrinya telah berzina dengan lelaki lain di depan hakim, begitu pula istrinya telah bersumpah dengan tujuan membela diri, bahwa tuduhan suaminya adalah dusta. Maka jika sang istri mengandung, anak tersebut disebut sebagai anak li’an.
Li'an suami-istri disyariatkan dalam Islam, apabila suami menuduh istrinya berzina, atau suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya. Allah swt. berfirman, "Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur [24]: 6-9)
Sebab turunnya ayat ini dan kekhususan hukum li'an kepada dua suami istri adalah firman Allah yang menyebutkan tentang sanksi orang yang menuduh wanita mukminah, yaitu, "Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (an-Nuur [24]: 4)
Terkait dengan permasalahan ini, ada satu riwayat yang cukup panjang, yakni sebagai berikut: Sa'ad bin Ubadah yang menjadi sesepuh orang Anshar berkata, "Apakah hanya seperti ini, wahai Rasulullah? (maksudnya adalah apakah solusinya hanya seperti tertera pada surat An-Nuur ayat 4 diatas, atau apakah tidak ada jalan lain)" Rasulullah saw. bersabda, "Apakah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh sesepuh kalian, wahai kaum Anshar?" Mereka menjawab, "Dia adalah manusia paling besar cemburunya. Demi Allah, dia hanya menikah satu kali dengan perempuan perawan dan dia tidak pernah mencerai istrinya. Dia lelaki paling berani menikahi perempuan perawan, karena cemburunya yang demikian besar itu."
Kemudian Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, aku yakin firman Allah itu benar, dan aku juga yakin ayat itu dari Allah. Namun, aku hanya merasa heran, seandainya aku menemukan pergelangan tangan (istri) diperkosa, aku tidak boleh berbuat apa-apa, tidak boleh membentak, dan tidak boleh mengusirnya sampai aku dapat menghadirkan empat orang saksi. Demi Allah, jika aku menghadirkan mereka, pastilah pemerkosa itu telah memuaskan nafsunya."
Tidak berapa lama setelah kejadian itu, pada suatu sore, ketika Hilal bin Umayyah datang dari kampung halamannya, dia mendapati istrinya bersama seorang laki-laki. Dia melihat dan mendengarnya sendiri, namun dia tidak membentak atau mengusirnya sampai waktu pagi tiba.
Pagi itu juga, Hilal menemui Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, kemarin, ketika aku pulang di sore hari, aku mendapati istriku bersama seorang laki-laki. Aku melihat dan mendengarnya sendiri."
Mendengar cerita itu, Rasulullah tidak senang dan marah. Sa'ad bin Ubadah berkata, "Sekarang, Rasulullah mendapat contoh langsung dari peristiwa Hilal bin Umayyah. Kesaksian Hilal pun tidak dapat diterima oleh kaum muslimin."
Hilal berkata, "Aku berharap, Allah akan memberikan jalan keluar untukku." Kemudian Hilal berkata kembali, "Ya Rasulullah, aku mengerti engkau marah karena cerita yang aku sampaikan. Allah mengetahui bahwa aku berkata jujur."
Demi Allah, sesungguhnya, Rasulullah saw. ingin memberikan perintah agar Hilal didera, namun saat itu wahyu turun. Allah swt. berfirman, "Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur [24]:6-9).
Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda, "Bergembiralah, hai Hilal, Allah telah memberikan jalan keluar dan kelapangan." Hilal menyahut, "Sungguh, itulah yang aku harapkan dari Tuhanku."
Demikianlah asbabun nuzul turunnya ayat 6 hingga 9 dari surat An-Nuur di atas. Bentuk li'an, sebagaimana yang bisa kita ambil dari ayat di atas, adalah seorang laki-laki yang menuduh istrinya berbuat zina atau tidak mengakui bahwa anak itu sebagai keturunannya, atau menuduhkan kedua-duanya kepada istrinya dan ia tidak bisa membuktikan hal itu dengan kehadiran empat orang saksi. Kalau suami tetap pada tuduhannya, ia dituntut untuk bersaksi dengan nama Allah. Bentuk persaksiannya, yaitu bersumpah sebanyak empat kali bahwa apa yang dituduhkannya adalah benar. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima, jika tuduhannya bohong, laknat Allah akan menimpa dirinya.
Istrinya pun dapat terbebas dari tuduhannya, jika ia bersedia bersaksi sebanyak lima kali. Empat dari lima kesaksiannya berisi sumpah bahwa apa yang dituduhkan suaminya adalah bohong, dan pada kesaksian yang kelima dia harus mengucapkan bahwa jika apa yang dituduhkan suaminya benar, laknat Allah akan menimpa dirinya.
Apabila kesaksian itu telah dilaksanakan, maka hakim akan menceraikan mereka, menafikan ikatan nasab anak itu dari suaminya, dan menjadikan anak itu bernasab pada ibunya. Anak inilah yang dinamakan anak li'an.
Hak Waris untuk Anak yang Lahir karena Zina dan Anak Li'an
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir karena perbuatan zina dan anak li'an. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat dikelompokkan menjadi tiga pendapat sebagai berikut:
Pendapat Pertama
Abu Hanifah, Malik, dan Syafi'i berpendapat bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui. Ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit dalam satu riwayat dari Ali r.a..
Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian tetap, dan sisanya dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang berpendapat adanya pengembalian (ar-radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah senasab berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah.
Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'du sebagai dalil. "...Sunnah menetapkan bahwa anak li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun dapat mewarisi darinya, dengan bagian yang telah ditetapkan Allah." (Nail al-Authar, juz VI, hlm.184)
Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa waris-mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari 1/3, demikian juga dengan saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari 1/6.
Contohnya, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat, meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektare dan meninggalkan ahli waris: ibu, ayah, paman dari pihak ibu, dan ayahnya ibu. Dalam kasus ini, seluruh warisan hanya diberikan kepada ibu, karena ia mendapat bagian tetap dan pengembalian (ar-radd). Hal ini disebabkan paman dari pihak ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam kelompok dzawil arham, dan ayah si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena nasabnya terputus.
Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-laki dan wanita. Anak yang lahir karena perbuatan zina, status keturunannya adalah hanya dari ibunya, bukan dari ayahnya, karena laki-laki yang menggaulinya bukan sebagai suaminya yang sah.
Untuk menentukan laki-laki yang mempunyai hubungan nasab dengannya, dapat dilakukan jika ada seorang laki-laki yang mengakuinya sebagai anak. Tetapi dengan syarat bahwa laki-laki itu tidak mengakuinya lahir dari perbuatan zina dengan ibu si anak. Maka dalam hal ini, anak itu dapat dinasabkan kepadanya, jika syarat-syaratnya terpenuhi.
Namun, jika laki-laki itu berkata dan mengakui bahwa anak itu adalah anaknya dari perbuatan zina, menurut jumhur ulama, anak itu tidak bisa dinasabkan kepadanya. Sebab, nasab atau keturunan adalah sebuah karunia, dan itu tidak bisa diperoleh dari perbuatan tercela. Akan tetapi, balasan yang sesuai untuk perbuatan zina adalah azab.
Sedangkan Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat lain, mereka berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan orang yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan ibu si anak, sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Penetapan itu dimaksudkan agar si anak tidak terlantar, tidak mendapat mudharat, dan tidak terkena aib karena perbuatan yang tidak ia lakukan. Sebab, orang yang tidak berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Perbedaan pendapat itu terjadi karena wanita yang berzina itu, ketika hamil, tidak menjadi istri seseorang atau dalam masa 'iddah. Kalau wanita itu menjadi istri seseorang atau sedang dalam masa 'iddah, anak yang ada dalam kandungannya adalah anak suaminya, karena anak adalah milik orang yang mempunyai ranjang (suami). Oleh karena itu, pengakuan seseorang atas anak itu tidak bisa diterima. Ini merupakan ijma ulama.
Adapun dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, yaitu sabda Nabi saw. "Anak milik orang yang memiliki ranjang (suami) dan wanita pezina mendapatkan sanksi." Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim menakwilkan sebab Nabi saw. bersabda demikian, yakni karena terjadi perdebatan antara wanita pezina dengan pemilik ranjang (suaminya).
Meskipun demikian, kita bisa melihat bahwa pendapat jumhur ulama lebih kuat, karena ada riwayat lain dari 'Amr bin Syu'aib, yaitu Nabi saw. bersabda, "Lelaki mana pun yang berbuat zina dengan seorang wanita merdeka atau budak, maka anak yang lahir adalah anak zina, tidak bisa mewarisi atau diwarisi." (HR Turmudzi)
Dengan demikian anak hasil zina tidak bisa mewarisi dari ayahnya atau dari ibunya yang melakukan zina, dan juga dari kerabatnya, selain itu mereka juga tidak bisa mewarisi dari anak hasil zina tersebut. Syaukani berkata, "Demikian juga halnya dengan anak yang lahir karena perbuatan zina. Ini sudah disepakati. Harta warisnya diberikan untuk ibu dan kerabat ibunya."
Anak Li'an
Anak li’an adalah anak yang dilahirkan dari seorang istri yang sah, dimana suami tersebut tidak mengakuinya sebagai anaknya, karena suami tersebut telah menuduh sang istri telah berzina dengan lelaki lain. Sang suami telah bersumpah bahwa istrinya telah berzina dengan lelaki lain di depan hakim, begitu pula istrinya telah bersumpah dengan tujuan membela diri, bahwa tuduhan suaminya adalah dusta. Maka jika sang istri mengandung, anak tersebut disebut sebagai anak li’an.
Li'an suami-istri disyariatkan dalam Islam, apabila suami menuduh istrinya berzina, atau suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya. Allah swt. berfirman, "Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur [24]: 6-9)
Sebab turunnya ayat ini dan kekhususan hukum li'an kepada dua suami istri adalah firman Allah yang menyebutkan tentang sanksi orang yang menuduh wanita mukminah, yaitu, "Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (an-Nuur [24]: 4)
Terkait dengan permasalahan ini, ada satu riwayat yang cukup panjang, yakni sebagai berikut: Sa'ad bin Ubadah yang menjadi sesepuh orang Anshar berkata, "Apakah hanya seperti ini, wahai Rasulullah? (maksudnya adalah apakah solusinya hanya seperti tertera pada surat An-Nuur ayat 4 diatas, atau apakah tidak ada jalan lain)" Rasulullah saw. bersabda, "Apakah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh sesepuh kalian, wahai kaum Anshar?" Mereka menjawab, "Dia adalah manusia paling besar cemburunya. Demi Allah, dia hanya menikah satu kali dengan perempuan perawan dan dia tidak pernah mencerai istrinya. Dia lelaki paling berani menikahi perempuan perawan, karena cemburunya yang demikian besar itu."
Kemudian Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, aku yakin firman Allah itu benar, dan aku juga yakin ayat itu dari Allah. Namun, aku hanya merasa heran, seandainya aku menemukan pergelangan tangan (istri) diperkosa, aku tidak boleh berbuat apa-apa, tidak boleh membentak, dan tidak boleh mengusirnya sampai aku dapat menghadirkan empat orang saksi. Demi Allah, jika aku menghadirkan mereka, pastilah pemerkosa itu telah memuaskan nafsunya."
Tidak berapa lama setelah kejadian itu, pada suatu sore, ketika Hilal bin Umayyah datang dari kampung halamannya, dia mendapati istrinya bersama seorang laki-laki. Dia melihat dan mendengarnya sendiri, namun dia tidak membentak atau mengusirnya sampai waktu pagi tiba.
Pagi itu juga, Hilal menemui Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, kemarin, ketika aku pulang di sore hari, aku mendapati istriku bersama seorang laki-laki. Aku melihat dan mendengarnya sendiri."
Mendengar cerita itu, Rasulullah tidak senang dan marah. Sa'ad bin Ubadah berkata, "Sekarang, Rasulullah mendapat contoh langsung dari peristiwa Hilal bin Umayyah. Kesaksian Hilal pun tidak dapat diterima oleh kaum muslimin."
Hilal berkata, "Aku berharap, Allah akan memberikan jalan keluar untukku." Kemudian Hilal berkata kembali, "Ya Rasulullah, aku mengerti engkau marah karena cerita yang aku sampaikan. Allah mengetahui bahwa aku berkata jujur."
Demi Allah, sesungguhnya, Rasulullah saw. ingin memberikan perintah agar Hilal didera, namun saat itu wahyu turun. Allah swt. berfirman, "Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur [24]:6-9).
Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda, "Bergembiralah, hai Hilal, Allah telah memberikan jalan keluar dan kelapangan." Hilal menyahut, "Sungguh, itulah yang aku harapkan dari Tuhanku."
Demikianlah asbabun nuzul turunnya ayat 6 hingga 9 dari surat An-Nuur di atas. Bentuk li'an, sebagaimana yang bisa kita ambil dari ayat di atas, adalah seorang laki-laki yang menuduh istrinya berbuat zina atau tidak mengakui bahwa anak itu sebagai keturunannya, atau menuduhkan kedua-duanya kepada istrinya dan ia tidak bisa membuktikan hal itu dengan kehadiran empat orang saksi. Kalau suami tetap pada tuduhannya, ia dituntut untuk bersaksi dengan nama Allah. Bentuk persaksiannya, yaitu bersumpah sebanyak empat kali bahwa apa yang dituduhkannya adalah benar. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima, jika tuduhannya bohong, laknat Allah akan menimpa dirinya.
Istrinya pun dapat terbebas dari tuduhannya, jika ia bersedia bersaksi sebanyak lima kali. Empat dari lima kesaksiannya berisi sumpah bahwa apa yang dituduhkan suaminya adalah bohong, dan pada kesaksian yang kelima dia harus mengucapkan bahwa jika apa yang dituduhkan suaminya benar, laknat Allah akan menimpa dirinya.
Apabila kesaksian itu telah dilaksanakan, maka hakim akan menceraikan mereka, menafikan ikatan nasab anak itu dari suaminya, dan menjadikan anak itu bernasab pada ibunya. Anak inilah yang dinamakan anak li'an.
Hak Waris untuk Anak yang Lahir karena Zina dan Anak Li'an
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir karena perbuatan zina dan anak li'an. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat dikelompokkan menjadi tiga pendapat sebagai berikut:
Pendapat Pertama
Abu Hanifah, Malik, dan Syafi'i berpendapat bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui. Ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit dalam satu riwayat dari Ali r.a..
Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian tetap, dan sisanya dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang berpendapat adanya pengembalian (ar-radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah senasab berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah.
Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'du sebagai dalil. "...Sunnah menetapkan bahwa anak li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun dapat mewarisi darinya, dengan bagian yang telah ditetapkan Allah." (Nail al-Authar, juz VI, hlm.184)
Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa waris-mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari 1/3, demikian juga dengan saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari 1/6.
Contohnya, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat, meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektare dan meninggalkan ahli waris: ibu, ayah, paman dari pihak ibu, dan ayahnya ibu. Dalam kasus ini, seluruh warisan hanya diberikan kepada ibu, karena ia mendapat bagian tetap dan pengembalian (ar-radd). Hal ini disebabkan paman dari pihak ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam kelompok dzawil arham, dan ayah si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena nasabnya terputus.
Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8, anak perempuan 1/2, dan sisanya untuk anak perempuan tersebut. Sedangkan saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak dapat mewarisi ketika ada bersama pokok atau cabang yang mewarisi.
Pendapat Kedua
Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat diwarisi dengan cara ashabah. Ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya atau mereka yang mewarisi dari ibunya. Sebagian orang berkata, "Jika Anda ingin mengetahui ashabah anak li'an, lihatlah ashabah ibunya kalau ibunya wafat. Itulah yang menjadi ashabah anak li'an."
Dalam satu riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar pun berpendapat demikian. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-ulama besar dari kalangan tabi'in, seperti 'Atha, Mujahid, an-Nakha'i, dan asy-Sya'bi. Hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat demikian adalah sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan mengenai hal ini, "Ashabah-nya adalah ashabah ibunya."
Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, "Ibu mendapatkan bagiannya, kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan. Pembagian tersebut dilakukan, jika tidak ada orang lain selain ibu dan kerabatnya, misalnya anak laki-laki atau istri si mayit. Jika si mayit mempunyai anak laki-laki atau istri, mereka berhak mendapatkan warisan sesuai bagiannya dalam masalah waris-mewarisi."
Hadits lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah sabda Nabi saw., "Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Jika ada sisa, pertama-tama untuk ahli waris laki-laki yang terdekat."
Hadits di atas mengharuskan warisan dibagikan kepada laki-laki yang paling dekat dengan anak li'an dari kerabat ibunya, yang dinasabkan kepada ibunya, setelah bagian ashhabul furudh diberikan. Jikalau nasab anak li'an berpindah dari ayahnya kepada ibunya, maka berpindah juga ashabahnya dari kerabat ayah kepada kerabat ibu.
Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak perempuan mendapatkan 1/2 sebagai bagian tetap, dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah.
Jika seorang anak li’an wafat, meninggalkan ibu dan paman dari pihak ibu, maka ibu mendapatkan bagian 1/3 dan paman dari pihak ibu mendapatkan 2/3 sebagai ashabah.
Pendapat Ketiga
Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah ibunya karena ibu bagi mereka sama seperti kedua orang tua, yakni ayah dan ibu. Jika tidak ada ibu, ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibu. Pendapat ini juga disampaikan oleh beberapa tabi'in, di antaranya Hasan dan Ibnu Sirin.
Di sini ada perbedaan pendapat antara mazhab ini dengan mazhab sebelumnya. Pada pendapat kedua, diterangkan bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya. Kalau sang ibu hidup, dia dapat mengambil bagian tetapnya (fardh) dan sisanya diambil oleh ashabah ibunya.
Sedangkan pendapat yang ketiga ini, menerima mereka yang menjadi ashabah ibunya sebagai ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina, dengan syarat ibunya tidak ada atau meninggal. Jika ibu ada, ibulah yang menjadi ashabah-nya, atau dengan kata lain, sang ibu akan mengambil seluruh harta warisan anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina. Dalil yang dipergunakan oleh para ulama yang pendapat seperti ini adalah sabda Rasulullah saw., "Perempuan menguasai tiga warisan, warisan budak yang dimerdekakannya, barang yang ditemukannya, dan warisan anak li'an-nya." (HR Abu Daud, Turmudzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Kalau ibu mewarisi dari budak yang dimerdekakannya dengan cara ashabah, ibu pun mewarisi dari anak li'an-nya dengan cara ashabah juga, karena ibu sama derajatnya dengan ayah dan ibu si anak li'an. Sebagai bukti, Ibnu Abbas pernah berkata, "Ibu anak li'an adalah ayah dan ibunya."
Dengan demikian, jika seorang anak li'an wafat meninggalkan istri, ibu, dan saudara perempuan seibu, maka istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap, dan ibu mendapatkan seluruh sisanya, sebagai bagian tetap dan sekaligus sebagai ashabah. Apabila ibu tidak ada, istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap dan saudara perempuan mendapatkan sisa sebagai ashabah dan bagian tetap.
Jika ia wafat, meninggalkan saudara perempuan seibu dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu, maka saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Cara pembagian yang demikian sesuai dengan dua pendapat tersebut.
Setelah kita memaparkan beberapa pendapat ulama fiqih di atas, tampaklah bagi kita bahwa pendapat ketiga lebih kuat dan dapat diterima, karena memang asal nasab itu dari ayah. Apabila nasab dari pihak ayah terputus, maka secara otomatis seluruh nasabnya berpindah ke ibu, sebagaimana asal ketaatan itu untuk orang yang memerdekakan ayah, kalau ayah budak. Ketaatan dapat kembali berpindah ke ayah sebagai asal, jika ayah dimerdekakan setelah ketaatan pindah ke ibu.
Mazhab ini merupakan mazhab Abdullah ibnu Mas'ud, Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih. Ibnul Qayyim berkata, “Berdasarkan pendapat di atas, Al-Qur'an telah menunjukkan dengan isyarat yang sangat indah dan halus. Allah menjadikan Isa dari anak-cucu Ibrahim lewat perantara Maryam, ibunya. Maryam pun berasal dari anak cucu Ibrahim. Jika ada yang bertanya, 'Kemudian, bagaimana dengan riwayat dari Sahl yang menjelaskan bahwa Sunnah yang berlaku adalah anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya dapat mewarisi darinya sesuai bagian yang telah ditetapkan Allah?' Kita jawab, 'Kita terima itu karena ketika ibu menjadi ashabah, tidak menggugurkan bagian yang telah ditetapkan Allah. Sesungguhnya, ibu anak itu seperti ayah, yang terkadang dapat mewarisi bagian tetap dan terkadang mewarisi bagian ashabah. Ibu pasti mengambil bagian tetap-nya, dan jika ada sisa, ia dapat mengambilnya dengan cara ashabah.'”
sumber: faraidweb
0 komentar:
Posting Komentar