Oleh : Muhammad Muammar Ar
Pernikahan adalah bentuk muamalah yang diatur secara terperinci dalam hukum Islam. Perjanjian yang dilakukan termasuk dalam perjanjian agung. Dalam istilah fiqih Ahwalus Syakhsiyah dikenal dengan mis}aqan galid}ah. Oleh sebab itu akibat yang timbul dari pernikahan ini diatur pula, mulai dari nafkah, hadlanah, talak, iddah dan sebagainya. Maka dari itu bentuk rusaknya perjanjian ini dengan salah satu jalan perceraian juga mendapat perhatian khusus.
Talak adalah salah satu jalan untuk memutuskan tali pernikahan. Seperti halnya nikah, yang mempunyai peran besar adalah laki-laki. Dalam akad nikah yang berperan adalah calon suami beserta wali dari calon istri yang akan dinikahi. Seperti halnya nikah, talak juga mempunyai beberapa syarat yang salah satunya adalah ikrar.
Ikrar talak adalah ungkapan suami untuk menceraikan istri dalam bentuk ucapan. Walaupun seperti itu adanya, tetapi tidak serta merta suami bisa menjatuhkan talak kepada istrinya tanpa sebab dan alasan yang kuat untuk menceraikan istrinya. Hal ini sebagaimana diatur dalam hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Pada dasarnya kekuasaan dalam menjatuhkan talak adalah ada di tangan suami, tetapi memungkinan bagi suami untuk menjatuhkan melalui orang lain yang bertindak atas nama suami. Hal ini dapat ditempuh melalui usaha suami ataupun atas keinginannya, seperti melimpahkannya kepada seorang wakil atau kepada istri yang diserahkan kepadanya perkara talak.[1]
Menurut Muhammad Baltaji, Islam memberi hak talak kepada laki-laki secara mutlak. Hal ini disebabkan oleh dua dalih. Pertama, karakter laki-laki yang lebih cenderung mempergunakan teori akal dibanding dengan frekuensi penggunaan akal pada perempuan dalam skala mayoritas. Perempuan dalam tataran praktik selalu menyelesaikan permasalahan dengan permainan perasaan, oleh karena itu Islam tidak memberikannya hak untuk mencerai. Kedua, suami bertanggung jawab atas kelangsungan rumah tangga seperti mas kawin/mahar dan nafkah, maka dikatakan laki-laki akan rugi jika talak istri yang disahkan. [2]
Sampai disini, perlulah kita menyebutkan suatu hal. Seorang suami dapat memberikan hak cerai kepada istrinya, baik secara pemegang kuasa yang mutlak ataupun dalam keadaan-keadaan khusus atas nama si suami itu sendiri. Dalam pandangan Islam hak menceraikan tidaklah diperuntukan bagi wanita, tetapi sebagai suatu hak yang ditentukan dan yang dikuasakan, hak itu ada dan dapat dipergunakannya.[3] Kita harus melihat apakah Islam memberikan suatu jalan untuk menyelesaikan kesulitan yang sesungguhnya sangat problematik ini.
Terlepas dari tanggungan nafkah dan tabiat yang dimiliki suami sebagai seorang laki-laki, hak itu terletak pada ikatan perkawinan. Hal yang mendasar tentang siapa yang berhak menjatuhkan talak adalah melihat siapa yang menikahi perempuan yang akan ditalak. Hak untuk menjatuhkan talak melekat pada orang yang telah menikahinya.[4] Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 49 , Allah SWT menjelaskan orang yang mempunyai hak talak;
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita kemudian kamu menceraikannya..”
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa laki-laki yang mempunyai hak menikahi wanita. Oleh karena itu, hanya orang yang memiliki hak menikahi yang bisa menjatuhkan talak. Ini sesuai dengan statusnya sebagai kepala keluarga dan pemimpin rumah tangga. Dengan memahami hak menikahi adalah merupakan milik laki-laki semata begitu pula talak, maka perempuan tidak berhak untuk menjatuhkan talak. Seandainya perempuan dengan inisitif sendiri melakukan talak, dengan sendirinya talak itu dianggap batal.
Melihat talak adalah sesuatu yang menjadi kuasa suami, maka dimungkinkan untuk diwakilkan kepada orang lain sesuai dengan pengertian wakalah itu sendiri;
تفويض شخص ما له فعله مما يقبل النيا بة إلى غيره ليفعله فى حياته
“Suatu tindakan dimana seseorang menyerahkan haknya untuk melakukan sesuatu kepada orang lain untuk dilakukannya selama dia hidup.”[5]
Talak yang menjadi kekuasaan suami itu disebabkan tanggung jawab dia dalam rumah tangga sebagai kepala rumah tangga yang harus menanggung nafkah bagi anggota keluarga. Nafkah ini ditanggung oleh suami mulai awal nikah dengan memberikan mahar, sampai pada putusnya perkawinan suami juga menanggung nafkah iddah, nafkah menyusui, juga nafkah pemeliharaan anak jika ia mempunyai anak dari istri yang ditalaknya.[6]
Talak itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang diperbolehkan untuk diwakilkan karena telah memenuhi dua unsur syarat sebagai muwakal fih. Pertama talak dimiliki oleh pihak yang memberikan kuasa yaitu suami yang berhak menjatuhkan talak kepada istrinya. Kedua talak ini memungkinkan untuk dikuasakan kepada orang lain sebagai wakil dari yang memberi kuasa, ini disebabkan talak bukan ibadah yang harus dilakukan orang secara pribadi.[7] Waka>lah dalam talak ini dianggap sah sebagaimana disahkan juga waka>lah lain dalam muamalah seperti jual-beli, hibah, nikah, dsb.
Berdasarkan ketentuan pasal 70 ayat (4), sidang pengadilan penyaksian ikrar talak dihadiri oleh pihak pemohon dan termohon. Ini bererti suami istri hadir dalam persidangan. Cuma, kehadiran mereka menurut undang–undang tidak mesti secara pribadi atau in-person. Baik suami maupun istri dapat diwakili oleh kuasa. Dengan demikian undang-undang memberi memberi kemungkinan bagi seorang kuasa mengucapkan ikrar talak.[8] Begitu juga istri, dapat diwakili kuasa dalam menyaksikan ikrar talak.
Akan tetapi agar seorang kuasa mempunyai kualitas untuk mengucapkan ikrar talak, harus berdasar kuasa khusus yang berbentuk “autentik”. Di dalam surat kuasa khusus tersebut harus dengan tegas dicantumkan bahwa pemberian kuasa untuk “mengucapkan ikrar talak”.jadi di samping bentuk surat kuasa khususnya autentik, redaksionalnya juga harus secara tegas memberi kuasa untuk mengucapkan ikrar talak. Kedua unsur tersebut merupakan syarat formal keabsahan kuasa. Salah satu unsur tidak diipenuhi, mengakibatkan kuasa tidak berwenang mengucapkan ikrar talak.[9]
Sebaliknya kuasa yang mewakili istri cukup didasarkan surat kuasa khusus biasa, dan tidak mesti berbentuk autentik. Dengan surat kuasa khusus biasa, kuasa dapat mewakili kepentingan hukum istri dalam sidang penyaksian ikrar talak. Hal ini perlu dijelaskan, agar pihak pejabat pengadilan tidak bersikap berlebih memberati pihak istri dalam pembuatan surat kuasa.
Apabila seorang suami menyerahkan masalah istrinya kepada seseorang, penyerahannya sah seperti kalau ia menyerahkannya kepada istrinya. Penyerahan kepada orang lain adalah mewakilkan, baik si suami mengatakan; “persoalan istriku terserah kepadamu” atau suami mengatakan;”Saya serahkan kepadamu untuk menentukan perceraian istriku” atau dengan menyuruh “Ceraikan istriku”[10]
Dalam menyikapi permasalahan ikrar talak yang dikuasakan kepada wakil perempuan tersebut ulama' fiqih terbelah menjadi dua. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut dapat dibenarkan dan sebaliknya ada pula yang berpendapat tidak dibenarkan.
Sepanjang sejarah Islam, tidak ada ahli hukum sepakat satu sama lainnya. Jika Ibn Taimiyah berpikir talak tiga dengan sekali ucapan tidak diperbolehkan, ahli hukum Islam yang lain memperbolehkannya. Jika para ahli hukum Syi’ah membolehkan kawin mut’ah maka umat Islam Sunni tidak membolehkannya. Perbedaan-perbedaan ini telah dijelaskan dalam berbagai buku-buku Islam.[11] Begitu juga dalam permasalahan ini banyak perbedaan di kalangan para ahli hukum Islam (fuqaha’)
Terlepas dari perbedaan pendapat yang tidak memperbolehkan adanya wakalah dalam talak. Tidak sedikit pula yang memperbolehkan wakalah tersebut karena dengan mengambil syarat yang ada pada muwakal fih, talak sudah memenuhi syarat tersebut baik mengenai dimiliki oleh pemberi kuasa ataupun layak untuk dikuasakan. Seperti halnya nikah yang bisa diwakilkan, maka talak juga bisa untuk diwakilkan.[12] Karena pernah diriwayatkan peristiwa talak Fatimah binti Qais yang menjatuhkan talak kepadanya seorang wakil dari suaminya.
Membahas tentang pihak yang memberi kuasa dan yang diberi kuasa, Syafi’iyah memberikan keterangan syarat wakil yang diberi kuasa. Sebagaimana disyaratkan untuk orang yang memberikan kuasa yaitu dengan melihat sisi dimana ia berhak melakukan untuk dirinya sendiri sesuatu yang ingin ia wakilkan kepada orang lain. Syarat itu juga berlaku pada wakil yang diberikan kuasa yaitu dia termasuk orang yang berhak melakukan untuk dirinya sendiri sesuatu yang ingin diwakilkan kepadanya dari orang lain.[13]
Pokok permasalahan dalam ikrar talak yang diwakilkan kepada kuasa hukum perempuan adalah dengan melihat kredibilitas wakil itu sendiri. Syarbini memberikan syarat pada seorang wakil dengan redaksi صحة مباشرته التصرف لنفسه yaitu seorang yang bertindak sebagai wakil haruslah sah melakukan sesuatu yang diwakilkan kepadanya.[14] Sesungguhnya orang yang melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri itu atas jalan menempuh hak, sedangkan untuk melakukan sesuatu untuk orang lain hanyalah sebagai pengganti. Jika orang itu untuk dirinya sendiri dalam penuntutan hak saja tidak kuasa untuk memenuhinya, lalu bagaimana dia dapat menggantikan orang lain.
Mereka menambahkan bahwa syarat-syarat telah disebutkan di atas adalah berlaku secara umum, sehingga ada juga pengecualian dalam beberapa masalah. Salah satunya adalah orang perempuan dapat dijadikan wakil untuk menjatuhkan talak kepada orang lain.[15] Bukan berarti orang perempuan yang tidak berhak menjatuhkan talak untuk dirinya sendiri itu dilarang untuk melaksanakan pelimpahan kekuasaan talak ini, justru dia diperbolehkan melakukan perwakilan dalam masalah ini.
Terdapat keterangan tentang dilarangnya seseorang untuk diberi kuasa karena dia dianggap tidak sah melakukan hal itu untuk dirinya sendiri. Keterangan ini dapat kita buktikan dengan tidak diperbolehkannya seorang perempuan menikahkan seseorang karena dianggap tidak sah melakukan itu untuk dirinya sendiri.[16] Senada dengan hal itu ada hadits yang melarangnya;[17]
لا تزوج المرأة المرأة ، ولا تزوج المرأة نفسها
Sependapat dengan keterangan di atas Syarbini menganggap orang perempuan yang diberi kuasa dalam akad nikah hukumnya tidak sah, baik dalam ijab maupun qabul. Bahkan menambahkan dengan keterangan tidak sahnya menjadikan wakil seorang perempuan dalam masalah ruju’.[18]
Golongan Malikiyah mengatakan suami yang memberikan kuasa kepada seseorang untuk menjatuhkan talak kepada istrinya itu diperbolehkan, baik wakil itu adalah istrinya sendiri ataupun orang lain.[19]
Tidak berbeda dengan keterangan sebelumnya, Hanabilah mengatakan bahwa siapa yang dianggap sah talaknya, maka sah pula mewakilkannya kepada orang lain. Adapun jika suami itu memilih perempuan untuk diberi kuasa untuk bertindak sebagai wakil dalam menjatuhkan talak, pemberian kuasa dianggap sah.[20] Dengan adanya pendapat seperti ini maka talak yang dijatuhkan sah baik dijatuhkan kepada orang lain begitujuga dijatuhkan untuk dirinya sendiri.
Berbeda dengan pendapat yang lainnya, golongan Hanafiyah yang mengartikan tawkil dalam talak adalah pemberian kuasa dari seorang suami kepada orang lain untuk bertindak atas nama dia dalam menjatuhkan talak kepada istrinya. Pelimpahan kuasa itu bisa diberikan kepada istrinya sendiri atau orang lain.[21] Namun pelimpahan kuasa itu tidak dapat diberikan kepada perempuan selain istrinya sendiri, karena perempuan hanya dapat menjatuhkan talak pada dirinya sendiri bukan kepada orang lain. Maka dengan ini perempuan tidak dapat menjadi kuasa sebagai wakil yang melaksanakan sesuatu untuk orang lain, melainkan dia hanya bisa menjatuhkan talak hanya untuk dirinya sendiri.
Dalam surat Al-Ahzab ayat 28-29.;
“Hai Nabi, katakanlah kepada pasangan-pasanganmu: ‘Jika kamu menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepada kamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan perceraian yang baik. Dan jika kamu sekalian menghedaki Allah dan Rasul-Nya serta di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di aantara kamu pahala yang besar’.”
Al-Barudi mengatakan diantara kesimpulan yang dapat diambil dari ayat dia atas adalah bahwa sesungguhnya barang siapa memberikan pilihan pada istrinya untuk berpisah atau bersama dengannya, maka itu tidak bisa disebut sebagai talak.[22] Allah SWT tidak memberikan hak bagi wanita dalam hal nikah dan tidak juga dalam hal talak. Semua itu merupakan hak yang diberikan kepada laki-laki.
Allah SWT telah menjadikan laki-laki menjadi penanggung jawab atas perempuan. Jika mereka mau, maka mereka bisa menahannya dan jika dia mau maka dia bisa mentalaknya. Tidak boleh bagi laki-laki untuk menjadikan wanita sebagai pengendali rumah tangganya. Yakni jika wanita mau, maka dia tetap bersama laki-laki itu atau jika dia tidak mau maka dia ditalak.[23]
Adapun mengenai sah tidaknya pelimpahan suami mengenai kuasa talak istri kepada orang perempuan, Al-Imroni memberikan dua pendapat. Pertama wakalah tentang talak itu dianggap sah sebagaimana sahnya talak perempuan yang ditujukan kepada dirinya sendiri. Kedua, talaknya dianggap tidak sah.[24] Karena yang diperbolehkan mewakilkan talak kepada perempuan yang statusnya sebagai istri, dianggap sah apabila talak itu untuk dirinya sendiri. Kalau talak perempuan kepada istri lain maka dianggap tidak sah menurut pendapat dia yang kedua.
Dalam konsep wakalah pada muwakal fih, sesuatu yang yang bisa dilakukan oleh seseorang diperbolehkan untuk diwakilkan kepada orang lain. Sehingga wakil dapat bertindak atas nama muwakil untuk melakukannya. Masalah ini dapat difahami juga bahwa sesuatu yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh wakil, maka tidak boleh ada akad wakalah dalam hal itu. Tetapi Bajuri mengecualikan beberapa masalah, diantaranya adalah memperbolehkkan wakil seorang wanita untuk menjatuhkan talak bagi dirinya sendiri atau orang lain. [25]
Walaupun demikian Sarbini memberikan catatan penting tentang maksud dari syarat wakil “صحة مباشرته التصرف لنفسه” yang menyebutkan kuasa wakil dalam hal yang diwakilinya, terdapat perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Menurutnya, pendapat yang paling shahih adalah melihat jenis masalah yang akan diwakilkan (muwakal fih). Jika wakil tidak dapat melakukan muwakal fih untuk dirinya sendiri, maka dianggap batal semua pengecualian termasuk hal talak.[26]
Dengan demikian telah jelas kiranya bahwa ikrar talak yang dilakukan oleh kuasa hukum perempuan dianggap tidak sah. Oleh karena itu jika suami akan mewakilkan ikrar talak, hendaknya dikuasakan kepada kuasa hukum laki-laki.
[1] Qonun al-Ahwali asy-Syakhshiah, (Beirut: ad-Dar Asy-Syamiyah, tt), hal.125
[2] Dr. Hj. Istibsyaroh, SH., MA., Hak-Hak Perempuan, (Jakarta: Teraju, 2004) hal. 121
[3] Murtadha Muthaahhari, Hak-Hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 1995) hal.197
[4] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) hal. 155
[5] Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbhiniy, Mughniy al-Mukhtaaj vol.III (Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), hal. 231
[6] Akrom Ridlo, Qowa’id Takwin Al-Beit Al-Muslim, (Kairo: Dar al-Tauzi’, 2004), hal. 490.
[7] Ibid, hal. 236
[8] Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 231.
[9] Ibid, hal. 231.
[10] Sai’d bin Abdullah bin Thalib Al Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani 2002) hal.251
[11] Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2003) hal. 207
[12] Abi Zakariya An-Nawawi, Al-Majmu’ Vol XVIII, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal.218
[13] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah Vol IV (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal.132.
[14] Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbhiniy, Mughniy al-Mukhtaaj Vol.III (Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), hal.233
[15] Ibid, hal. 132
[16] Syeikh Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fathul Wahhab Vol.I, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), hal.218.
[17] Kahar Masyhur, Terj Bulughul Maram Vol II, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal.18.
[18] Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbhiniy, Mughniy al-Mukhtaaj vol.III (Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt) hal. 233.
[19] Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam Waadillatuh Vol.IX, (Beirut: Dar Al-Fikr, tt), hal 6938.
[20] Ibid, hal. 2940
[21] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah Vol IV (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal.287.
[22] Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), hal.612
[23] Ibid, hal. 614
[24] Musa Al-Imroni, Al-Bayan, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002) hal. 362.
[25] Syeikh Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri ala Ibnu Qosim (Surabaya: al-Hidayah, tt), hal. 386
[26] Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbhiniy, Mughniy al-Mukhtaaj vol.III (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt) hal. 234
0 komentar:
Posting Komentar