Selasa, 07 Juni 2011

Peminangan dan Kafa'ah

MAKALAH KAFA'AH DAN PEMINANGAN DALAM PERKAWINAN
Oleh: Moeammar Ar
BAB I
PENDAHULUAN
 
Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah. Sejak dahulu hingga kini ritual ini tetap dilakukan oleh manusia. Bila seorang lelaki merasa cocok untuk mengarungi kehidupan bersama seorang perempuan yang dicintainya, pernikahan adalah solusinya. Tapi apakah bila merasa cocok mereka langsung menikah? Tidak adakah kewajiban lain sebelum menikah? Apa menikah hanya ditentukan oleh perasaan cinta, suka maupun setia?
Makalah singkat yang kami susun ini akan membahas tentang peminangan, yaitu sebuah prosesi awal sebelum menginjak kepada tangga pernikahan. Prosesi yang melibatkan calon mempelai beserta wali-walinya. Peristiwa yang bertujuan untuk saling mengenal agar lebih erat tali persaudaraan dan timbul rasa cinta untuk saling hidup bersama. Tentang ini, kami akan membahasnya pada bab III.
Pada bab IV kami akan membahas tentang kafa’ah atau keserasian dan kesamaan. Walaupun ada ulama yang menentang kafa’ah, sebagaimana Ibnu Hazm, mayoritas ulama, apalagi ulama yang menganut empat mazhab, syafi’iyah, malikiyah, hanafi’yah, dan hanabilah, sepakat dengan adanya kafa’ah walaupun dengan sudut pandang yang berbeda.
Harapan kami, pembahasan tentang Peminangan Dan Kafa’ah ini semoga menjadi titik awal dari pembahasan-pembahasan selanjutnya dalam mata kuliah fiqh munakahat ini dan menjadi pelajaran bagi kita semua yang hendak melaksanakan salah satu sunnah Rasulullah ini, yaitu pernikahan.
Tidak lupa, ucapan terima kasih kami kepada bapak Abdul Bashid, yang telah membimbing dan membantu kami dalam mempelajari mata kuliah ini. Semoga apa yang telah beliau lakukan dibalas oleh Allah dengan Ridho dan Jannah-nya.
Begitu pula dengan teman-teman AS-D yang telah mensupport kami dalam pembuatan makalah ini, baik materil maupun immateril sehingga dapat dibaca oleh seluruh teman-teman.
Akhir kata, kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini kami harapkan. Semoga apa yang telah kita lakukan dan diskusikan nantinya, bermanfaat bagi kita semua. Amiiiin.......
Wassalam. Surabaya, 06 Oktober 2009

BAB II
MEMILIH JODOH

Dalam Pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai sengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Di samping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup. Oleh karenaitu, seseorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnyaitu secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.
Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan seorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah: karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan seorang laki-laki atau kesuburan keduanya dalam mengharapkan anak keturunan; karena kekayaannya; karena kebangsawanannya, dan karena keberagamaannya. Di antara alasan yang banyak itu, maka yang paling utama dijadikan motivadi adalah karena keberagamaannya. Hal ini dijelaskan nabi dalam haditsnya yang mutaffaq alaih berasal dari Abu Hurairah, ucapan Nabi yang bunyinya:
تنكح المراة لاربع لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها قاظفر بذات الدين تربت يداك
Perempuan itu dikawini karena empat perkara, karna hartanya, kedudukan atau kebangsawaannya, karena kecantikannya dan karena keberagamaannya. Pilihlah perempuan karena keberagamaannya, maka kamu akan mendapat keberuntungan.
Yang dimaksud keberagamaan disini adalah komitmen keagamaannya atau kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika akan lenyap dan kecantikan suatu ketika akan dapat pudar, demikian pula kedudukan, suatu ketika akan hilang.




BAB III
PEMINANGAN

A. Arti Peminangan
Setelah ditentukan pilihan pasangan yang akan dikawini sesuai dengan kriteria sebagaimana disebutkan diatas, langkah selanjutnya adalah menyampaikan kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan itu. Penyampaian kehendak untuk menikahi seseorang itu disebut dengan khitbah atau yang dalam bahasa melayu disebut "Peminangan".
) adalah bahasa arab yang secara sederhana diartikan dengan: penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan.Kata khitbah (
Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan. Ulama' fikih mendifinisikannya dengan, menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan ini.
Peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
 merupakan bahasa arab standart yang terpakai dalam pergaulan sehari-hari; tedapat dalam Al-Qur'an sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 235.
 "Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun".
Dan terdapat pula dalam ucapan Nabi sebagaimana terdapat dalam sabda beliau dalam hadits dari Jabir menurut riwayat Ahmad dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya:
ااذ خطب احدكم المراءة فان استطاع ان ينظر منها ما يدعو الى نكاحها فليفعل
"Bila salah seorang di antara kamu meminang seorang perempuan, bila ia mampu melihatnya yang mendorongnya untuk menikah maka lakukanlah".
Peminangan itu disyari"atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Diantaranya pihak laki-laki yang mengajukan pinangan kepada pihak perempuan dan adakalanya pihak perempuan yang mengajukan pinangan ke pihak laki-laki. Syari'at menetapkan aturan-aturan tertentu dalam peminangan ini, dalam tradisi islam sebagaimana tersebut dalam Hadits Nabi yang mengajukan pinangan itu dari pihak laki-laki itu sendiri yang datang ke pihak perempuan itu untuk menyampaikan pinangannya atau mengutus perempuan yang dipercaya untuk melakukannya, sedangkan pihak perempuan berada dalam status orang yang menerima pinangan.

B. Hukum Peminangan.
Dalam al-Qur'an dan hadits banyak Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al qur'an maupun dalam hadist nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatanya kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam peminangan itu.

C. Hikmah Disyari'atkan Peminangan
Setiap hukum yang disari'atkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Hal ini dapat disimak dari sepotong hadis Nabi al-Mughiroh bin al-Syu'bah menurut yang dikeluarkan al-Tirmizi dan al-Nasa'i yang berbunyi:
اانه قال له وقد خطب امراءة انظر اليها فانه احرى ان يؤدم بينكما
"Bahwa nabi berkata kepada seseorang yang telah meminag seseorang perempuan: "melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan".

D. Syarat-Syarat Orang Yang Boleh Dipinang
Pada dasarnya peminangan itu adalah sebuah proses awal dari perkawinan. Dengan begitu perempuan-perempuan yang segara hukum syar' boleh dikawini oleh seorang laki-laki, boleh dipinang. Hal ini berarti tidak boleh meminang orang-orang yang secara syara' tidak boleh dikawini.
Perempuan yang dingikan untuk dikawini oleh seorang laki-laki dapat dipisahan dalam beberapa bentuk:
1. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan meskipun dalam kenyataannya telah ditinggalkan oleh suaminya.
2. Perempun yang ditinggal mati oleh suaminya, baik ia telah digauli suaminya atau belum dalam artian ia telah menjalani massa iddah** mati dari mantan suaminya.
3. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya secara tala' ra'ji dan dalam masa iddah raj'i
4. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya dalam bentuk talak bain dan sedang menunggu masa iddah tala' bain.
5. Perempuan yang belum kawin.

Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan ada dua cara:
• Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam artian tidak mungkin difahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan: "saya berkeinginan untuk mengawinimu."
• Menggunakan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dalam istilah kinayah. Yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan: "tidak ada orang yang tidak suka kepadamu"
Perempuan yang belum pernah kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddanya boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh juga dengan ucapan sindiran. Tidak boleh meminang seseorang yang masih punya suami meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia boleh dikawini,baik dengan menggunakan bahasa yang jelas seperti "bila kamu di cerai oleh suamimu maka maka saya akan mengawinimu" atau dengan bahasa sindiran seperti "jangan khawatir dicerai suamimu saya yang akan melindungimu".
Perempuan-perempuan yang telah dicerai oleh suaminya dan telah menjalani iddah raj'i, sam kedudukannya dengan orang yang sedang mempunyai suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinanag baik dalam bahasa terus terang maupun dengan bahasa sindiran. Alasannya ialah: bahwa perempuan dalam iddah tala' raj'i kedudukannya sama dengan perempuan yang sedang dalam perkawinan.
Perempuan yang sedang menjalani iddah* karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan terus terang, namun boleh meminangnya dengan bahasa sindiran. Kebolehan meminang perempuan yang kematian suami dengan sindiran ini dijelaskan oleh Allah dalam surah Al-Baqorah ayat 235:
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf . dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun."
Perempuan yang menjalani iddah dari tala' bain dalam bentuk fasakh atau talak tiga, tidak boleh dipinang secara terus terang namun dapat dilakukan dengan sindiran, sebagaimana yang telah berlaku pada perempuan yang ditinggal mati suaminya. Kebolehan ini oleh karena itu dengan talak bain tersebut telah putus hibunagnnya dengan suaminya.
Disamping perempuan yang bersuami atau yang telah putus perkawinannya sebagaimana disebutkan diatas, juga tidak boleh meminag perempuan yang sudah dipinang orang lain. Keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi menjadi tiga hal:
Pertama: perempuan itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinanangan itu atau memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
Kedua: perempuan itu tudak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang menyatakan ketidak setujuannya baik dengan ucapan, tindakan, syarat.
Ketiga: perempuan itu tidak memberika jawaban yang jelas namun ada isyarat kalau dia menyenangi peminangan itu.
Perempuan dalam keadaan pertama di atas tidak boleh dipinang oleh seseorang karena pinangan pertama secar jelas telah diterima, sedangkan dalam keadaan yang kedua boleh dipinang karena pinangan yang pertama jelas di tolaknya. Dan adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama'di antaranya Ahmad bin Hambal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan dengan perempuan dalam keadaan pertama. Dan sebagian ulam' berpendapat bahwa tidak haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama.
E. Melihat Perempuan Yang Dipinang.
Waktu berlangsungnya peminangan laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perenpuan yang dipinangnya, meskipun menurut asalnya seorang laki-laki haram melihat kepada perempuan. Kebolehan itu didasarkan kepada hadits nabi dari jabir menurut riwayat ahmad dan abu daud yang berbunyi:
ااذ خطب احدكم المراءة فان استطاع ان ينظر منها ما يدعو الى نكاحها فليفعل
"Bila seseorang diantara kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan mendorong untuk menikahinya,maka lakukanlah".
Dalam ibarat lain hadits nabi mengatakan:
انظر اليها فانه احرى ان يؤدم بينهما
"memandanglah kepadanya, karena yang demikian itu akan lebih melanggengkan perkawinan."
F. Batas Yang Boleh Dilihat
Meskipun hadits nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama'.
• Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya.
• Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
• Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut Hambali.
• Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
• Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
BAB IV
KAFA'AH

A. Pengertian
Kufu berarti sama, sederajad, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajad dalam akhlak serta kekayaan.
Tidak diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding, akan merupakan faktor kebahagiaan hidup suami isteri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
Kata kufu atau kafa’ah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafa’ah mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki yang mengawininya.
Dengan demikian maksud dari kafa’ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafa’ah.
B. Hukum Kafa’ah
Islam adalah agama yang fitrah yang condong kepada kebenaran. Islam tidak membuat aturan tentang kafa’ah. Maka dari itulah pembicaraan mengenai kafa’ah menjadi pembicaraan dikalangan ulama, karena tidak ada dalil yang mengaturnya dengan jelas dan spesifik, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Bila demikian halnya, wajar bila beberapa ulama berbeda pendapat tentang hukum kafa’ah dan pelaksanaannya. Ibnu Hazm pemuka madzhab Zahiriyah yang dikenal sebagai mujtahid mutlak tidak mengakui adanya kafa’ah dalam perkawinan. Ia berkata bahwa setiap muslim selama tidak melakukan zina boleh kawin dengan perempuan muslimah siapapun orangnya asal bukan perempuan pezina.
Perbedaan ulama’ tentang hukum kafa’ah dan pelaksanaannya berefek domino pada kontradiksi mengenai kedudukan kafa’ah dalam pernikahan sendiri, ditinjau dari sisi keabsahan nikah. Ulama’ terbagi menjadi 2 poros dalam menanggapi kedudukan kafa’ah dalam pernikahan.
Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat:
ان اكرمكم عندالله اتقاكم
Orang yang paling muliyah disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antaramu.
Bertolak belakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat dari Imam Ahmad malah mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk syarat perkawinan. Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak se-kufu masih dianggap belum sah. Mereka bertendensius dengan potongan hadis riwayat oleh al-Dar Quthny yang dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’. Hadis itu berbunyi,
لا تنكح النساء الا من الاكفا ولا تزوجوهن الا من الاولياء
Janganlah kamu mengawinkan perempuan kecuali dari yang sekufu dan janganlah mereka dikawinkan kecuali dari walinya.
Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah. Akan tetapi kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi pekertinya saja. Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.
Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iah.. Mereka mengakui adanya kafa’ah dengan dasar-dasar yang akan kami sampaikan nanti meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.
C. Dasar-Dasar Kafa’ah
Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam kafa’ah.
a. Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah
1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.
2. Islam, yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama islam.
3. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan.
4. Kemerdekaan dirinya.
5. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam islam.
6. Kekayaan.
b. Menurut ulama malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1. Diyanah
2. Terbebas dari cacat fisik.
c. Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1. Nasab
2. Diyanah
3. Kemerdekaan dirinya.
4. Hirfah.
d. Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1. Diyanah
2. Hirfah
3. Kekayaan
4. Kemerdekaan diri
5. Nasab
Mayoritas ulama’ sepakat menempatkan dien atau diyanah sebagai kriteria kafa’ah. Konsesus itu didasarkan pada surat as-Sajadah (32):18
افمن كان مؤمنا كمن كان فاسقا لا يستوون
"Orang-orang yang beriman tidaklah sama dengan orang-orang fasik, mereka tidaklah sama."
dan ayat yang menerangkan mengenai kadar kemuliaan seseorang hanyalah ditinjau dari sisi ketaqwaannya
D. Siapa Yang Menentukan Ke-Kufu'an Dan Kapan Waktu Mengukur Kufu?
Yang menentukan ukuran kufu ialah laki-laki bukan perempuan. Laki-laki yang dikenai persyaratan itu hendaknya ia kufu dan setarafdengan perempuannya, dan bukan sebaliknya, yaitu perempuan yang harus kufu dengan laki-laki.
Alasannya adalah isteri yang kedudukannya lebih tinggi biasanya ia merasa aib, baik secara pribadi maupun walinya bila mana ia dikawin dengan laki-laki yang tidak kufu. Tetapi laki-laki yang terpandang tidak aib jika isterinya itu berada dibawah derajadnya.
Adapun kufu diukur ketika berlangsungnya akad nikah. Jika selesai aqad nikah terjadi kekurangan-kurangan, maka hal itu tidaklah mengganggu dan tidak pula membatalkan apa yang sudah terjadi itu sedikitpun, serta tidak mempengaruhi hukum akad nikahnya. Karena syarat-syarat perkawinan hanya di ukur ketika berlakunya aqad nikah. Jika pada waktu berlakunya aqad nikah, suami pekerjaanya mulia dan mampu memberi nafkah isterinya atau orang yang saleh, kemudian dibelakang hari terjadi perobahan, umpamanya pekerjaanya kasar atau tidak mampu lagi memberi nafkah, atau setelah kawin berbuat durhaka kepada Allah naka aqad nikahnya tetap sah.


BAB V
KESIMPULAN


Setelah membaca makalah tentang peminangan dan kafa’ah ini, ada beberapa poin penting yang dapat kita ambil. Setidaknya adalah sebagai berikut:
• Peminangan adalah proses pernyataan ingin membina rumah tangga antara dua orang, lelaki dan perempuan, yang dilakukan sebelum pernikahan. Baik melalui wali ataupun secara langsung.
• Tidak ada dasar yang jelas dan spesifik tentang suruhan peminangan. Oleh karena itu kebanyakan dari ulama menyatakan hukumnya mubah, walaupun diantara mereka ada yang mewajibkannya dengan mengatakan bahwa pinangan adalah tradisi nabi.
• Hikmah dari pinangan adalah wadah perkenalan dan penguat ikatan dalam memulai kehidupan baru dengan menikah.
• Peminangan ada dua macam, secara langsung maupun tidak langsung. Pembagian ini tergantung keadaan orang yang dipinang.
Ada banyak persoalan yang terjadi dalam ruang lingkup peminangan. Bahwa Peminangan tidak sama dengan pernikahan yang berarti ada norma yang harus tetap dijaga. Ketidakbolehan seseorang untuk meminang seseorang yang telah dipinang. Begitu pula tentang persyaratan yang membatasi orang-orang yang boleh dipinang. Bahwa orang yang dilarang dinikahi merekalah yang dilarang untuk dipinang. Begitu pula dengan perempuan yang masih dalam masa iddah. Tentang pembatasan penglihatan yang masih dalam perdebatan para ulama. Penulis berpendapat bahwa melihat wajah dan tangan saja dirasa cukup untuk mewakili seluruh diri perempuan sebagaimana disampaikan Syafi’i. Adapun tentang waktu penglihatan, apakah ketika hajah atau boleh kapan saja asal tidak syahwat atau hanya sebelum pinangan saja, penulis berpendapat bahwa melihat perempuan kapan saja tanpa syahwat lebih semangat dan lebih fleksibel dari pada yang lainnya.

Kufu berarti sama, sederajad, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajad dalam akhlak serta kekayaan.
Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa’ah dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Bertolak belakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat dari Imam Ahmad malah mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk syarat perkawinan. Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak se-kufu masih dianggap belum sah.
Hukum kafa'ah sendiri para ulama' tidak sama meskipun ada sedikit kemiripan seperti halnya yan kita lihad pada keempat imam madzhab.
Dalam penentuan kufu yang dijadikan ukuran adalah suamu atau laki-laki karena jika isteri yang kedudukannya lebih tinggi biasanya ia merasa aib, baik secara pribadi maupun walinya bila mana ia dikawin dengan laki-laki yang tidak kufu. Tetapi laki-laki yang terpandang tidak aib jika isterinya itu berada dibawah derajadnya.


DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, 2009.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta.
Sayyid Sabiq, 1993.Fikih Sunnah 7, Al-Ma'arif: Bandung
Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Trinity Optima Media
Ibnu Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, Cv-Asy Syifa' Semarang 1990
Dr. H. Amirul Nurudin. Ma, Drs. Azhari Akmal Tarigon, Mag, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Preneda Media 2004. Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar