Fikih menurut bahasa sebagaimana pendapat Al-Ghazali bahwa secara literal, fikih (fiqh) bermakna al-‘ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman)Sedangkan arti terminologinya adalah mengetahuai sesuatu yang menjadi hak maupun kewajiban seseorang, atau mengetahui hukum-hukum partikular (juz’i) berdasar dalil-dalilnya. Definisi seperti ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah yang cenderung memaknai fiqh secara umum dan mencakup hukum-hukum i’tiqadiyyat (keimanan), wijdaniyyat (akhlaq-tashawuf), dan ’amaliyyat (hukum praktis keseharian). Mengingat cakupannya yang begitu menyeluruh seperti ini maka fiqh dalam madzhab hanafiyyah dikenal dengan sebutan al-fiqh al-akbar sesuai perkembangan fiqh pada era madzhab ini yang belum didiversifikasi menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri.
Kondisi seperti ini berbeda dengan era madzhab-madzhab fiqh sesudahnya di mana para tokohnya cenderung memisahkan pembahasan fiqh secara monografis dan terpisahkan dari kajian tentang tauhid maupun tashawuf. Dalam kaitan ini, menurut al-Syafi’i fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syar'i yang bersifat ‘amali (praktis) dan diperoleh melalui proses istinbath hukum berdasarkan dalil-dalil tafshili (terperinci). Dari definisi ini dapat dikemukakan bahwa fiqh merupakan hukum-hukum operasioanal yang sangat praktis dan aplikatif sebagai preskripsi dan panduan manusia mukallaf dalam menjalankan aktivitas kesehariannya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Selain itu, apa yang bisa digarisbawahi dari definisi tadi bahwa ketentuan fiqh dilandaskan pada dalil-dalil syar’i yang sangat transendental dan dalam proses pengambilan postulasi hukumnya memerlukan keterlibatan nalar ijtihad atan istinbath.
Pada prinsipnya, setiap hukum yang melekat pada berbagai peristiwa dan kejadian mempunyai pijakan dalil berupa wahyu. Namun demikian, tidak semua pijakan wahyu dapat tergambarkan secara tersurat dalam lembaran teks al-Qur'an maupun al-Hadith. Sebaliknya, tidak sedikit pijakan wahyu yang hanya mengungkapkan persoalan hukum secara tersirat. Atas dasar itu maka dalil wahyu sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Dalil juz'i / tafshili , yaitu dalil-dalil terperinci berupa teks wahyu yang menunjukkan hukum-hukum tertentu secara tersurat. Seperti teks wahyu yang dengan lugas menunjukkan hukum wajib melakukan shalat fardu, puasa ramadhan, haram berbuat zina, mencuri, mengalirkan darah sesamanya dan lain-lain.
2. Dalil kulli / ijmali, yaitu dalil global yang tidak menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum tertentu secara tersurat, tetapi cukup secara tersirat berupa indikator-indikator. Seperti teks hadith yang berbunyi:
لا ضرر ولا ضرار
Artinya: Tidak boleh melakukan kemudaratan (HR Imam Ibnu Majah).
Hadith ini tidak secara tersurat menunjukkan hukum haram terhadap peristiwa tertentu. Sebaliknya, tidak sedikit jumlah peristiwa yang ketentuan hukumnya dilandaskan pada hadith ini. Seperti keharaman mengonsumsi narkoba serta perbuatan-perbuatan lain yang dapat mumudaratkan diri sendiri maupun orang lain.
Jenis dalil pertama (juz’i) jelas merupakan acuan fiqh sebagaimana disebutkan secara tersurat dalam definisi fiqh tadi. Namun demikian, bukan berarti jenis dalil kedua (kulli) sama sekali tidak bersentuhan dengan proses pembentukan fiqh. Sebab, objek pembahasan ushul fiqh sebagai metodologi istinbath adalah berkaitan dengan dalil-dalil yang bersifat kulli ini untuk membuat rumusan kaidah-kaidah yang mempunyai fungsi memudahkan proses istinbath atau penggalian hukum-hukum operasional. Dengan ungkapan lain, kaidah-kaidah ushuliyyah yang sangat dibutuhkan Mujtahid dalam kerja akademiknya untuk menggali hukum-hukum operasional bisa disebut juga sebagai dalil kulli karena ia dibangun berdasarkan dalil-dalil wahyu yang mengungkapkan secara umum dan garis besar dan dipadukan dengan unsur logika aksioma.
Karena itu dalil kulli dan juz’i dalam konteks penggalian dan perumusan hukum-hukum (fiqh) mempunyai hubungan sangat erat dan hampir tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Artinya, dalam rangkaian kerja istinbath al-ahkam (penggalian hukum-hukum) selain diperlukan dali-dalil juz’i yang tersurat dalam teks wahyu, juga tidak bisa mengabaikan dalil-dalil kulli baik berupa prinsip-prinsip umum seperti tersirat dalam kandungan teks wahyu maupun kaidah-kaidah ushuliyyah yang sebenarnya juga dikreasi dan diadopsi dari kandungan teks wahyu. Seperti kaidah yang mengatakan bahwa hukum asal dari teks yang berisi perintah adalah wajib; hukum asal dari larangan dalam sebuah teks adalah haram; lafadz umum berlaku keumumannya selama tidak dijumpai pengkhususan dalam teks lain; dan lain-lain.
Dengan demikian, fiqh sebagai produk istinbath yang dikreasi dengan menggunakan metodologi ushul fiqh dapat disebut sebagai unsur aplikasi dalam struktur ajaran agama. Sebab, fiqh dengan proses penggaliannya seperti dijabarkan tadi merupakan hukum-hukum praktis (‘amaliyyah) dan aplikatif (tathbiqiyyah) yang langsung bersentuhan dengan kehidupan mukallaf dalam pranata sosial mereka sehari-hari. Dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, tidak ada satu pun perbuatan mukallaf yang tidak mengandung implikasi hukum.
Dalam konteks inilah fiqh (hukum Islam) mempunyai peran sangat sentral dalam penentuan arah kemaslahatan ummat baik di dunia maupun di akhirat. Untuk kemaslahatan akhirat lalu dimunculkanlah fiqh ibadah menyangkut hubungan vertikal seorang hamba dengan Tuhan Penciptanya. Sebaliknya untuk mengapresiasi kemaslahatan dunia yang profan lalu muncullah fiqh mu’amalah dengan beragam varian dan implikasinya. Dengan kenyataan seperti itu, fiqh merupakan pilar penting dalam struktur ajaran agama secara keseluruhan. Fiqh tak lain merupakan aturan konkret dalam upaya merespons aneka persoalan dan peristiwa hukum yang terus menegmuka sepanjang sejarah kemanusiaan.
0 komentar:
Posting Komentar