Senin, 26 September 2011

SEJARAH NU (Nahdlatul Ulama)

Republika, 24 Maret 2010

PERJALANAN NU
31 Januari 1926
Komite Hejaz bertemu di Lawang Agung, Ampel, Surabaya dan sepakat mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan rais akbar pertama KH. Hasyim Asy’arie.
Tahun 1937
NU membidani kelahiran Al Majlisul Islamy al A’la Indonesia (MIAI) yang merangkum berbagai ormas Islam)
24 Oktober 1943
MIAI akhirnya menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan Wahid Hasyim menjadi ketua.
07 Nopember 1945
Melalui kongres di Yogyakarta, Masyumi menjadi partai politik umat Islam satu-satunya. NU kemudian mengeluarkan fatwa jihad untuk pertempuran Surabaya melawan Inggris.
28 April – 1 Mei 1952
Muktamar NU di Palembang memutuskan NU keluar dari Masyumi
Tahun 1953
NU memproklamirkan diri sebagai partai politik
Tahun 1955
Dalam pemilu pertama, partai NU meraup suara terbesar ke tiga dari 29 partai peserta pemilu dengan 18,4 % suara
Tahun 1966
NU terlibat dalam pemberantasan PKI
Tahun 1971
Dalam pemilu pertama masa orde baru, partai NU memperoleh suara terbesar ke dua setelah Golkar.
Tahun 1979
Dalam Muktamar NU ke 26 di Semarang, muncul gagasan kembali ke khittah 1926 untuk melepaskan NU dari politik praktis
Tahun 1984
Muktamar ke NU 27 di Situbondo memutuskan kembali ke khittah 1926 dan keluar dari arena politik praktis. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai ketua umum PBNU.
Tahun 1994
Gus Dur terpilih kembali menjadi ketua umum PBNU untuk ke tiga kalinya.
23 Juli 1998
PKB menjadi wadah politik kaum Nahdliyin
Mei – September 2004
KH. Hasyim Muzadi yang terpilih menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar Kediri 1999 maju sebagai wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan presiden
====================================================
PRA PEMBENTUKAN JAM’IYAH NU DAN GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM

Gerakan pembaharuan adalah gerakan yang mengajak kembali kepada al-qur’an dan sunnah tanpa berpegang kepada madzhab dan membuat madzhab/ijtihad sendiri-sendiri. Gerakan ini bermula di Saudi Arabia yang dipelopori oleh Abdul Wahab dan di Mesir oleh Muhamad Abduh dan Rasyid Ridha sebagai muridnya. Gerakan ini di respon positif di Indonesia dengan berdirinya Muhammadiyah.

Di Cirebon, Jawa Barat pada tahun 1921, diadakanlah Kongres Islam, dalam Kongres yang berlangsung tanggal 31 Oktober – 2 Nopember 1922 dibawah pimpinan Cokroaminoto dan Agus Salim tersebut muncul perdebatan yang cukup sengit. Perdebatan itu terjadi antara ULAMA TRADISIONAL yang diwakili oleh KH. Raden Asnawi dan KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan kalangan MUHAMMADIYAH dan AL-IRSYAD yang diwakili oleh KH. A. Dahlan dan Ahmad Surkati. Perdebatan tersebut berkisar antara menganut madzhab atau tidak menganut madzhab. KALANGAN TRADISIONAL MENGANGGAP Muhammadiyah mau membuat madzhab baru dan seenaknya menafsirkan al-qur’an dan sunnah tanpa merujuk kepada madzhab para ulama terdahulu, sementara MUHAMMADIYAH MENGANGGAP kalangan tradisional yang berpegang kepada madzhab sebagai penyebab bekunya gerakan (pembaharuan) Islam.

Sejak itu interaksi antara kalangan tradisional yang berpusat di pesantren dan kalangan Muhammadiyah (kalangan pembaharu) kurang harmonis.
Sementara itu pada tahun 1923 di Semenanjung Arab terjadi pertempuran sengit antara pasukan Ibnu Sa’ud yang mengikuti faham wahabi melawan pasukan Syarif Husen sebagai khalifah kaum Muslimin seluruh dunia, mereka khawatir jika Ibn Sa’ud memaksakan faham yang ia anut dan memburu kaum pembaharu yang sedang melakukan propaganda di Indonesia.

Kemudian pada tanggal 25 Desember 1924 diadakanlah kongres Islam luar biasa yang membicarakan tentang pengiriman wakil Indonesia ke KONGRES KHILAFAH SE DUNIA yang akan diadakan di Kairo pada bulan Maret 1925, yang kemudian disusul dengan KONGRES ISLAM CENTRAL COMITE KHILAFAH di Yogyakarta pada awal tahun 1925, kemudian dalam kongres tersebut kalangan ulama tradisional yang diwakili oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah mengusulkan agar delegasi yang dikirim ke kongres sedunia tersebut mendesak raja Ibnu Sa’ud supaya memberlakukan kebebasan bermadzhab di tanah Hijaz, namun usul tersebut tidak di respon oleh para anggota kongres yang sebagian besar kaum pembaharu.

Atas tidak diresponnya usul KH. Abdul Wahab Chasbullah, akhirnya KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Raden Asnawi yang mewaakili kalangan ulama trasdisional tersebut membuat KOMITE HIJAZ. Kemudian pada tanggal 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama se Jawa dan Madura untuk melakukan muktamar di Surabaya yang memutuskan :
1. Mengirim utusan menemui raja Sa’ud untuk meminta kepadanya agar memberikan kebebasan bermadzhab dengan cara agar hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) di tanah Hijaz tetap diberlakukan dan dilindungi serta, tidak memaksakan faham wahabinya.
2. Oleh karena saat itu para ulama merasa bingung atas nama apa dan siapa mereka mengutus delegasi, maka KH. Mas Alwi menguslkan saat itu juga agar utusan itu berbicara atas nama jam’iyah Nahdlatul Ulama, dan usulnya disetujui oleh para mu’tamirin. Dan saat itulah berdirinya organisasi NU.
Kemudian delegasi yang diutus ke Hijaz, Makkah untuk menghadiri kongres Islam dan menemui raja Sa’ud yang di pimpin oleh Syekh Ghanaim dari Mesir, telah berhasil sukses membawa misi-misi komite Hijaz tersebut.

Kesimpulan :

A. Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik benang merah dengan cara memecah-mecah kelompok kepentingan, yaitu :

1. Kelompok gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Abdul Wahab (Saudi Arabia), Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho (Mesir), Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH. Ahmad Dahlan (Indonesia) dan Al-Irsyad yang di pimpin oleh Ahmad Sukarti (Indonesia). = Kelompok-kelompok yang tidak bermadzhab dan menjadikan ijtihad yang menjadi madzhab bagi dirinya dalam memahami al-qur’an dan sunnah.
2. Kelompok Wahabi yang diwakili oleh raja Sa’ud = kelompok yang akan memaksakan faham / madzhab wahabi dalam memahami al-qur’an dan sunnah
3. Kelompok ulama tradisional yang membentuk komite Hijaz dan mendiririkan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang diwakili oleh KH. Raden Asnawi, KH. Abdul Wahab Chasbullah dll. = kelompok yang menekankan perlunya bermadzhab terutama terhadap madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) sebagaimana yang telah diakui dan diterapkan di Indonesia dan saat ini pemikiran kelompok ini mengalami kemajuan yang jauh lebih pesat meninggalkan pemikiran-pemikiran kelompok-kelompok gerakan pembaharu.
4. Kelompok Syarief Husen khalifah kaum muslimin = ……?

B. Bahwa, dengan berhasilnya misi-misi komite Hijaz yang dibentuk oleh para pendiri Nahdlatul Ulama, pertempuran-pertempuran sengit yang terjadi di Timur tengah dapat diatasi dan hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) dapat diberlakukan, di lindungi dan dibebebaskan di wilayah kekuasaan raja Sa’ud di tanah Hijaz dan tidak memaksakan faham wahabinya.

SEJARAH PEMBENTUKAN JAM'IYAH NU DAN KEPENGURUSANNYA

Saat terjadi pergolakan di Timur Tengah mengenai "perselisihan antara menganut faham islam bermadzhab dan tidak bermadzhab" yang ditandai dengan munculnya khilafat baik di Turki maupun di Saudi Arabia, yang sangat berpengaruh terhadap akidah ahlus sunnah wal jama'ah, umat Islam Indonesia membentuk komite Hijaz untuk menghadiri undangan raja Sa'ud dalam acara kongres Islam.

Dinamakan komite Hijaz karena komite ini dibentuk untuk menghadiri kongres islam di Hijaz, Makkah untuk meredam pergolakan tersebut. Komite Hijaz sendiri dibentuk atas inisiatif KH. Abdul Wahab Chasbullah yang kepemimpinannya diambil dari pengurus2 forum tashwirul afkar, nahdlatul wathan dan syubbanul wathan yang kesemuanya dibentuk oleh beliau.

Komite Hijaz tersebut dipimpin oleh KH. Bisri Syansuri dari Denanyar, Jombang, KH. Ridwan dari Semarang, KH. Raden Asnawi dari Kudus, KH. Nawai dari Pasuruan, KH. Nahrawi dari Malang, KH. Alwi Abd. Aziz dari Surabaya, kemudian kiai2 tersebut berkumpul di surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 dan memutuskan :
1. Memimpin delegasi ke kongres dunia islam demi memperjuangkan kepada raja Ibnu Sa'ud agar hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) mendapat perlindungan dan kebebasan di wilayah kekuasaannya.
2. Membentuk suatu jam'iyah bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan Para Ulama) yang berjuang menegakan syari'at Islam yang berhaluan salah satu dari empat madzhab.

Untuk sementara kepengurusan syuriah dan tanfidziah dipercayakan kepada KH. Alwi Abdul Aziz dari Surabaya, sementara delegasi ke Makkah untuk menghadiri kongres Islam di pimpin oleh Syekh Ghanaim telah berhasil sukses membawa misi komite Hijaz tersebut.

Kemudian untuk kepengurusan NU, KH. Abdul Wahab Chasbullah tidak bersedia menduduki jabatan rais akbar sebagai pucuk pimpinan di NU dan beliau menyerahkan jabatan itu kepada KH. Hasyim Asy'ari sebagai gurunya dan wakilnya KH. Ahmad Dahlan dari Surabaya, sementara ketua tanfidziah dipercayakan kepada H. Hasan Gipo, dan KH. Abdul Wahab Chasbullah merasa cukup sebagai katib aam syuriyah.
(diambil dari buku berjudul 99 Kiai Kharismatik Indonesia, Buku Kedua, Cetakan ke II, Penerbit Kutub, Yogyakarta dengan pengarang KH. A. Aziz Masyhuri, Jombang)
====================================================

KH. ABDUL WAHAB CHASBULLAH
KETURUNAN JOKO TINGKIR :

Kiai Whab Chasbullah lahir dari pasangan Chasbullah dan Nyi Latifah, pada bulan Maret 1888 di Tambak Beras, Jombang. Keluarga kiai Chasbullah, pengasuh pondok Tambak Beras, masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang yang paling masyhur di abad ke 20 yang sama dari jombang, yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Sichah yang juga leluhur kiai KH. Hasyim Asy’ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dengan kiai Abdussalam. Konon jika diurut dari atas, nasab keluarga ini akan bermuara pada Lembu Peteng, salah seorang raja di Majapahit.

LAHIR DAN BESAR DI PONDOK PESANTREN :

Memasuki usianya yang ke tujuh tahun, Abdul Wahab mulai mendapatkan pelajaran agama secara intensif. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia di didik langsung oleh ayahnya, dengan demikian Abdul Wahab menyelami pesantren sejak dini.
Selama kurang lebih 20 tahun, secara intensif ia menggali pengetahuan keagamaan di beberapa pesantren. Diantara pesantren yang pernah disinggahinya adalah pesantren Langitan Tuban, pesantren Mojosari Nganjuk, pesantren Cempaka, pesantren Tawangsari sepanjang, pesantren Kademangan Bangkalan Madura, pesantren Branggahan Kdiri, dan pesantren Tebuireng Jombang dibawah pimpinan KH. Hasyim Asy’ari. Selama 4 tahun ia menjadi lurah pondok, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang santri dalam sebuah pesantren.

MENIKAH :

Pada tahun 1914, Abdul Wahab Chasbullah menikah dengan puteri kiai Musa yang bernama Maimunah, sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong Kertopaten, Surabaya.

Sepeninggal isteri pertamanya di Makkah sewaktu menjalankan ibadah haji tahun 1921, KH. Abdul Wahab Chasbullah memperisteri Alawiyah, puteri Kiai Alwi. Setelah memperoleh seorang putera, isteri ke duanya ini pun meninggal. Setelah itu KH. Abdul Wahab Chasbullah pernah tiga kali menikah tetapi tidak berlangsung lama dan tidak dikaruniai anak, kemudian kawin lagi dengan Asnah, puteri kiai Sa’id, pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak diantaranya KH. Najib Abdul Wahab yang selanjutnya mengasuh pesantren Tambak Beras.

Setelah Asnah meninggal, kiai Wahab menikah dengan Fatimah, anak H. Burhan tetapi tidak memperoleh keturunan tetapi memperoleh anak tiri, diantaranya KH. A. Sajichu. Setelah itu KH. Abdul Wahab Chasbullah menikah dengan Ashikhah, anak KH. Abdul Madjid Bangil, yang meninggal setelah beribadah haji dan memperoleh empat orang anak. Terakhir kiai KH. Abdul Wahab Chasbullah memperisteri Sa’diyah, kakak Ashikhah, sampai akhir hayatnya pada tahun 1971 dan memperoleh lima anak.

PENDIRI SERIKAT ISLAM DI MAKKAH :

Setelah menjalani perjalanan intelektualnya, hamper sepenuh hidupnya dihabiskan di dunia pesantren. Maka pada usia 27 tahun KH. Abdul Wahab Chasbullah kemudian memperdalam pengetahuan keagamaannya di Makkah selama kurang lebih lima tahun. Di Makkah ia beremu dengan ulama terkemuka dan kemudian berguru kepadanya, diantaranya kiai Mahfudz dari Termas, kiai Muchtarom dari Banyumas, Syekh Ahmad Khatib dari Minagkabau, Syekh Sa’id Al-Yamami dan Syekh Ahmad Abu Bakri Saha. Di sana beliau tidak hanya sibuk dengan kegiatan belajar, namun juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi. Bahkan beliau bersama Abbas dari Jember, Asnawi dari Kudus dan Dahlan dari Kertosono yang mempelopori berdirinya Syarikat Islam (SI) cabang Makkah.

Dengan rangkaian perjalanan intelektual yang demikian panjang, tidak mengherankan apabila pada usia 34 tahun KH. Abdul Wahab Chasbullah telah menjadi pemuda yang menguasai berbagai disiplin ilmu keagamaan, seperti ilmu tafsir, hadits, fiqih, akidah, tasawuf, nahwu shharaf, ma’ani, manthiq, arudl dan ilmu hadlarah dari cabang ilmu diskusi dan retorika.

MENDIRIKAN TASHWIRUL AFKAR :

Akhirnya bersama kiai mas Mansur, kawan mengaji di Makkah, ia membentuk kelompok diskusi tashwirul afkar (pergolakan pemikiran) di sdurabaya pada tahun 1914. Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berfikir dan berpendapat yang diterapkan dan topic-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini sangat popular dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum ini untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren, ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan komunikasi antara generasi muda dengan generasi tua. Dari posnya di Surabanya, kelompok ini menjalar sampai ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke daerah lain seluruh Jawa. Kelompok ini tidak hanya mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul, tetapi juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan. Jelas pemrakarsanya memasukan unsur-unsur kekuatan politik untuk menentang penjajah. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresifitas berpikir dan bertindak, maka jelas kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.

Bersama dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, KH. Abdul Wahab Chasbullah masih bersama kiai mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (kebangkitan Tanah Air) yang telah memperoleh kedudukan badan hukumnya pada tahun 1916. Dari organisasi inilah KH. Abdul Wahab Chasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang lebih sealiran dengannya. Diantara ulama yang berhimpun itu adalah Kiai N. Alwi Abdul Aziz, kiai Ma’shum dan kiai Kholil dari Lasem.

MENDIRIKAN NAHDLATUL WATHAN :

Tampilnya nahdlatul wathan sebagai lembaga pendidikan dalam rangka menindaklanjuti rekomendasi Tashwirul Afkar antara lain telah membuka jalur pendidikan sebagai jalur rekrutmen dan sosialisasi pilitik dalam membangkitkan kesadaran nasional.
Sebagai lembaga pendidikan, Nahdlatul Wathan dibawah pimpinan KH. Abdul Wahab Chasbullah telah berhasil mendirikan sekolah-sekolah di berbagai daerah du Jawa timur, antara lain :
- Madrasah Ahloel Wathan di Wonokromo,
- Madrasah Farol Wathan di Gresik,
- Madrasah Hidayatul Wathan di Jombang dan
- Madrasah Khitabatul Wathan di Surabaya.

KH. Abdul Wahab Chasbullah juga mempunyai perhatian khusus terhadap para pemuda. Untuk itu, KH. Abdul Wahab Chasbullah mengumpulkan beberapa orang pemuda SYUBBANUL WATHAN (pemuda tanah air) pada tahun 1924. Organisasi ini kemudian menjadi cikal bakal Gerakan Pemuda Anshar yang lahir pada tahun 1934. Dikalangan pemudanya disediakan wadah syubbanul wathan (pemuda tanah air) yang di dalamnya antara lain ada nama Abdul Ubaid. Dalam kelopok inilah KH. Abdul Wahab Chasbullah mulai memimpin dan menggerakan perjuangan pemikiran berdasarkan keagamaan dan nasionalisme, saying sekali hanya karena perbedaan khilafiyah saja, duet KH. Abdul Wahab Chasbullah dan mas Mansur harus retak dan kemudian berpisah. Jika tidak, mungkin perkembangan sejarah ormas Islam atau lebih besar lagi umat islam Indonesia akan berbicara lain.

Perbedaan pandangan dengan mas Mansur tidak menjadikan KH. Abdul Wahab Chasbullah mundur diri dari penggalangan pemikiran dikalangan pemuda saat itu. Jiwanya yang bebas dan selalu ingin mencari penyelesaian masalah menjadikan ia terus melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh-tokoh keagamaan lainnya. Dengan pendiri Al-Irsyad, Syeh Ahmad Surkati di Surabaya, misalnya KH. Abdul Wahab Chasbullah tidak segan-segan melakukan diskusi mengenai masalah keagamaan. Sedangkan KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu Kiai Ahmad Dahlan sering bertandang ke Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengannya.
Akan tetapi juga tidak bisa dihindari, karena terjadinya gerakan kepentingan dan makin menajamnya perselisihan paham keagamaan antar tokoh agama, timbul polarisasi yang ttajam di kalangan mereka, mesti tidak sampai mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Kiai mas Mansur misalnya harus kembali ke organisasi Muhammadiyah dan KH. Abdul Wahab Chasbullah terus melanjutkan penggalangan solidaritas ulama dalam forum tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar