Ramadhan berasal dari akar kata ر م ﺿ , yang berarti panas yang menyengat atau kekeringan, khususnya pada tanah. Bangsa Babylonia yang budayanya pernah sangat dominan di utara Jazirah Arab menggunakan luni-solar calendar (penghitungan tahun berdasarkan bulan dan matahari sekaligus). Bulan ke sembilan selalu jatuh pada musim panas yang sangat menyengat. Sejak pagi hingga petang batu-batu gunung dan pasir gurun terpanggang oleh segatan matahari musim panas yang waktu siangnya lebih panjang daripada waktu malamnya.
Di malam hari panas di bebatuan dan pasir sedikir reda, tapi sebelum dingin betul sudah berjumpa dengan pagi hari. Demikian terjadi berulang-ulang, sehingga setelah beberapa pekan terjadi akumulasi panas yang menghanguskan. Hari-hari itu disebut bulan Ramadhan, bulan dengan panas yang menghanguskan. (Wikipedia)
Secara etimologi, ramadhan berasal dari kata ra-mi-dha yang merupakan fi’il madhi. Kata ini berarti “panas” atau “panas yang menyengat”. Kata ini berkembang sebagaimana biasa terjadi dalam struktur bahasa Arab dan bisa diartikan “menjadi panas, atau sangat panas”, atau dimaknai “hampir membakar”. Dalam kamus Al-Munjid, ramidha atau ramdha’ memiliki makna syadid al-har (“sangat panas”, “terik”).
Jika orang Arab mengatakan qad ramidha yaumuna, maka itu berarti “hari telah menjadi sangat panas”.
Tampaknya, keagungan bulan ini tidak digemakan dari makna kebahasaannya saja, akan tetapi juga pada makna substantifnya. Nama Ramadhan selain menunjukkan kondisi alam yang ada di lingkungan sahara Arab yang terbiasa berhias terik dan panas, juga melambangkan sebuah tantangan dahsyat bagi para pelaksana ibadah puasa (ash-shaimun). Selain itu, dari namanya, ada sebagian ulama yang harus menginterpretasi kata ramadhan dengan huruf per huruf yang semuanya memiliki makna.
Ar-Ramadhu juga bisa diartikan “batu yang panas karena panas teriknya matahari” sebagaimana terdapat dalam kitab Matn Al-Lughah. Ibnu Manzhur mengatakan: "Ramadhan adalah salah satu nama bulan yang telah dikenal".
Ibnu Duraid menambahkan: "Ketika orang-orang mengadopsi nama-nama bulan dari bahasa kuno secara sima'i dengan zaman (masa) yang ada dalam bulan itu, maka bulan Ramadhan bertepatan dengan masa panas terik, lalu dinamakanlah dengan Ramadhan.
Ada pula yang mengatakan diadopsi dari ramadha ash-sha’im (panasnya orang yang puasa) ketika tenggorakannya panas karena sangat haus.
Al-Fairuz Abadi menambahkan bahwa bulan Ramadhan dinamakan demikian karena ia membakar dosa-dosa.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Ramadhan itu adalah salah satu nama Allah SWT. Dalam hal ini kalau melihat dari ayat tersebut di atas tidaklah mungkin diartikan nama Allah, karena pendapat ini memang lemah dan tidak memiliki argumentasi literal.
Itulah uraian singkat dari pengertian istilah Ramadhan diambil dari kalimat
ramidha-yarmadhu, yang berarti “panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus”.
Keterangan tentang kata Ramadhan ini disampaikan pula oleh Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir Ar-Razi (w. 721 H) dalam kamus Mukhtarush Shihhah dan Muhammad bin Mukarram bin Mandzur Al-Mashri (630-711 H), yang terkenal dengan sebutan Ibnu Mandzur, dalam karya monumentalnya, Lisanul ‘Arab.
Menurut Quraish Shihab, ramadhan terambil dari akar kata yang berarti “membakar” atau “mengasah”. Dinamai demikian karena pada bulan ini dosa-dosa manusia pupus, habis terbakar, akibat kesadaran dan amal salehnya. Atau karena bulan tersebut dijadikan waktu untuk mengasah dan mengasuh jiwa manusia.
Kata ramadhan terdiri dari lima huruf. Pertama, ra yang berarti rahmah (kasih sayang). Kedua, mim, yaitu maghfirah (ampunan). Ketiga, dha, yang bermakna dhaman lil jannah (jaminan surga). Keempat, alif yang berarti aman min an-nar (selamat dari neraka). Kelima, nun, yang berarti nur min al-Allah (cahaya dari Allah).
Mengapa Ramadhan begitu mulia? Jawabannya adalah karena di dalamnya terdapat ibadah puasa. Ibadah yang berlandaskan legitimasi kitab suci yang pernah ada bagi seluruh umat beragama. Dalam Islam, ibadah puasa telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an serta dipertegas oleh Nabi SAW melalui sunnahnya.
Mudah-mudahan dengan kita memahami makna kata ramadhan secara komprehensif akan menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang bertakwa sebagaimana tujuan inti dari disyariatkannya puasa kepada kaum muslimin. Wallahu a’lam bishshawab. (Baihaqi Nu’man)
Inti dari singkat penjelasan di atas adalah bisa difahami dan memastikan pula bahwa bulan Ramadhan itu ada, setidaknya sejak syari’at puasa diturunkan kepada ummat manusia. Karena, arti Ramadhan itu sendiri adalah waktu dan/atau keadaan suatu hal dimana seseorang merasakan panas, mulut terasa kering dan tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan sedang berpuasa.
Sehingga dengan sendirinya dan secara otomatis, bulan atau waktu dimana orang melakukan puasa disebut bulan atau waktu Ramadhan, yaitu saat yang panas, kering dan haus.
Demikianlah sekedar telaahan untuk menambah pengetahuan bahwa syari’at puasa memang sudah menjadi syari’at bagi setiap ummat manusia. Dan di antara sekian macam syari’at, hanya ibadah puasa merupakan ibadah kontemplatif.
Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy, Allah SWT telah berfirman, “Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan Adam diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa.
Maka sesungguhnya puasa adalah untukKu, dan Aku mengganjar karenanya”. Sehingga dengan pernyataan Allah SWT itu, Imam al-Qurthubi (627 – 671 H) dalam tafsirnya mengatakan bahwa ‘puasa merupakan (komunikasi) rahasia antara hamba dengan Tuhannya’. Sudah selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya Ibrahim ‘alaihis salam, Taurat untuk Musa ‘alaihis salam, Injîl untuk Isa ‘alaihis salam dan Al-Qur’an pun turun pertama kali pada bulan Ramadhan, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi
Di malam hari panas di bebatuan dan pasir sedikir reda, tapi sebelum dingin betul sudah berjumpa dengan pagi hari. Demikian terjadi berulang-ulang, sehingga setelah beberapa pekan terjadi akumulasi panas yang menghanguskan. Hari-hari itu disebut bulan Ramadhan, bulan dengan panas yang menghanguskan. (Wikipedia)
Secara etimologi, ramadhan berasal dari kata ra-mi-dha yang merupakan fi’il madhi. Kata ini berarti “panas” atau “panas yang menyengat”. Kata ini berkembang sebagaimana biasa terjadi dalam struktur bahasa Arab dan bisa diartikan “menjadi panas, atau sangat panas”, atau dimaknai “hampir membakar”. Dalam kamus Al-Munjid, ramidha atau ramdha’ memiliki makna syadid al-har (“sangat panas”, “terik”).
Jika orang Arab mengatakan qad ramidha yaumuna, maka itu berarti “hari telah menjadi sangat panas”.
Tampaknya, keagungan bulan ini tidak digemakan dari makna kebahasaannya saja, akan tetapi juga pada makna substantifnya. Nama Ramadhan selain menunjukkan kondisi alam yang ada di lingkungan sahara Arab yang terbiasa berhias terik dan panas, juga melambangkan sebuah tantangan dahsyat bagi para pelaksana ibadah puasa (ash-shaimun). Selain itu, dari namanya, ada sebagian ulama yang harus menginterpretasi kata ramadhan dengan huruf per huruf yang semuanya memiliki makna.
Ar-Ramadhu juga bisa diartikan “batu yang panas karena panas teriknya matahari” sebagaimana terdapat dalam kitab Matn Al-Lughah. Ibnu Manzhur mengatakan: "Ramadhan adalah salah satu nama bulan yang telah dikenal".
Ibnu Duraid menambahkan: "Ketika orang-orang mengadopsi nama-nama bulan dari bahasa kuno secara sima'i dengan zaman (masa) yang ada dalam bulan itu, maka bulan Ramadhan bertepatan dengan masa panas terik, lalu dinamakanlah dengan Ramadhan.
Ada pula yang mengatakan diadopsi dari ramadha ash-sha’im (panasnya orang yang puasa) ketika tenggorakannya panas karena sangat haus.
Al-Fairuz Abadi menambahkan bahwa bulan Ramadhan dinamakan demikian karena ia membakar dosa-dosa.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Ramadhan itu adalah salah satu nama Allah SWT. Dalam hal ini kalau melihat dari ayat tersebut di atas tidaklah mungkin diartikan nama Allah, karena pendapat ini memang lemah dan tidak memiliki argumentasi literal.
Itulah uraian singkat dari pengertian istilah Ramadhan diambil dari kalimat
ramidha-yarmadhu, yang berarti “panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus”.
Keterangan tentang kata Ramadhan ini disampaikan pula oleh Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir Ar-Razi (w. 721 H) dalam kamus Mukhtarush Shihhah dan Muhammad bin Mukarram bin Mandzur Al-Mashri (630-711 H), yang terkenal dengan sebutan Ibnu Mandzur, dalam karya monumentalnya, Lisanul ‘Arab.
Menurut Quraish Shihab, ramadhan terambil dari akar kata yang berarti “membakar” atau “mengasah”. Dinamai demikian karena pada bulan ini dosa-dosa manusia pupus, habis terbakar, akibat kesadaran dan amal salehnya. Atau karena bulan tersebut dijadikan waktu untuk mengasah dan mengasuh jiwa manusia.
Kata ramadhan terdiri dari lima huruf. Pertama, ra yang berarti rahmah (kasih sayang). Kedua, mim, yaitu maghfirah (ampunan). Ketiga, dha, yang bermakna dhaman lil jannah (jaminan surga). Keempat, alif yang berarti aman min an-nar (selamat dari neraka). Kelima, nun, yang berarti nur min al-Allah (cahaya dari Allah).
Mengapa Ramadhan begitu mulia? Jawabannya adalah karena di dalamnya terdapat ibadah puasa. Ibadah yang berlandaskan legitimasi kitab suci yang pernah ada bagi seluruh umat beragama. Dalam Islam, ibadah puasa telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an serta dipertegas oleh Nabi SAW melalui sunnahnya.
Mudah-mudahan dengan kita memahami makna kata ramadhan secara komprehensif akan menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang bertakwa sebagaimana tujuan inti dari disyariatkannya puasa kepada kaum muslimin. Wallahu a’lam bishshawab. (Baihaqi Nu’man)
Inti dari singkat penjelasan di atas adalah bisa difahami dan memastikan pula bahwa bulan Ramadhan itu ada, setidaknya sejak syari’at puasa diturunkan kepada ummat manusia. Karena, arti Ramadhan itu sendiri adalah waktu dan/atau keadaan suatu hal dimana seseorang merasakan panas, mulut terasa kering dan tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan sedang berpuasa.
Sehingga dengan sendirinya dan secara otomatis, bulan atau waktu dimana orang melakukan puasa disebut bulan atau waktu Ramadhan, yaitu saat yang panas, kering dan haus.
Demikianlah sekedar telaahan untuk menambah pengetahuan bahwa syari’at puasa memang sudah menjadi syari’at bagi setiap ummat manusia. Dan di antara sekian macam syari’at, hanya ibadah puasa merupakan ibadah kontemplatif.
Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy, Allah SWT telah berfirman, “Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan Adam diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa.
Maka sesungguhnya puasa adalah untukKu, dan Aku mengganjar karenanya”. Sehingga dengan pernyataan Allah SWT itu, Imam al-Qurthubi (627 – 671 H) dalam tafsirnya mengatakan bahwa ‘puasa merupakan (komunikasi) rahasia antara hamba dengan Tuhannya’. Sudah selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya Ibrahim ‘alaihis salam, Taurat untuk Musa ‘alaihis salam, Injîl untuk Isa ‘alaihis salam dan Al-Qur’an pun turun pertama kali pada bulan Ramadhan, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi
0 komentar:
Posting Komentar